Novel Tutur Tinular - Nurani Yang Tercabik
Sunday, 25 November 2012
Add Comment
Pengarang : Buanergis Muryono & S. Tidjab
Tembang
yang merdu sekalipun akan membuat sakit telinga Bagi hati yang gundah
gulana Bagi jiwa yang lelah dan putus asa Bagi sukma yang terlukai ?
@@@
1
Laki-laki
tua itu semakin memelototkan matanya ketika orang itu semakin dekat
dengannya dengan napas terengahengah karena berlari.
"Ada apa,Wirot?”
“Eh, anu, Guru....”
“Anu,
anu, apa? Bicara yang baik. Aturlah napasmu dulu." Sejenak keduanya
diam, hanya napas Wirot yang ngosngosan menghiasi hari lengang di rumah
Mpu Ranubhaya.
Angin pun seolah-olah tak mau hadir dalam kepengapan jiwa lelaki tua yang sangat sederhana itu.
Murid setianya itu pun akhirnya membuka mulutnya.
"Guru, benarkahMpu Hanggareksa dari sini?”
“Ya. Ada apa dengan setan mata duitan itu?”
“Katanya...”
“Katanya apa?" Mpu Ranubhaya setengah membentak murid setianya ketika bujangan tua itu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Saya disuruh memperingatkan Guru.”
“Memperingatkan perutnya? Orang gila, orang sinting.
Gila
uang, gila pangkat dan kedudukan... Ohhh... jagad Dewa Bathara,
janganlah bibirku mudah menjadi semayam dosa dan karma. Dunia ini sudah
terbalik dan kocar-kacir.
Yang benar menjadi salah dan
salah dibenarkan." Mpu Ranubhaya menghela napas dalam-dalam tanpa
memandang muridnya. Dadanya terasa sesak sekali.
"Dengarkan,Wirot.”
“Ya, Guru.”
“Setan
alas itu kemari, mau menyuap aku, agar gurumu ini mau menjadi gedibal
pemerintah Singasari. Ia memberikan sekantong uang emas. Kau lihat itu,
sisasisanya masih'tersebar di lantai gubuk kita. Ambillah dan buang ke
pembakaran sampah, atau kauberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan
uang itu. Aku tidak butuh uang, aku tidak butuh perak dan emas, aku juga
tidak butuh pangkat dan kedudukan. Hanggareksa benar-benar sudah buta."
Sekali lagi lelaki tua itu menghela napas dalamdalam, pandang matanya
kosong penuh dengan kepedihan.
Seolah-olah nuraninya telah tercabik-cabik oleh sikap dan sifat adik seperguruannya yang semakin mengkhianati nasihat gurunya.
"Apa yang dikatakan orang edan itu padamu,Wirot?”
“Emh,
Mpu Hanggareksa bilang, agar Guru berhati-hati, sebab Guru telah
menghina pemerintah Singasari. Guru telah mengutuk Prabu Kertanegara.”
“Hemh,
tanpa aku mengutuknya, sebetulnya Kertanegara dan seluruh Singasari
telah terkutuk,Wirot. Haaahh, benarbenar dunia ini telah kacau balau.
Kau jangan ikut edan, Wirot. Sudah, sana. Kaukumpulkan uang di lantai
itu.
Jangan sampai mengotori rumahku hingga najis oleh
uang Kertanegara." Wirot hanya mengangguk lalu segera memunguti uang
emas yang masih tertinggal dan tercecer di lantai tanah.
Sebaliknya, Mpu Ranubhaya segera melangkah ke luar.
Terus melangkah meninggalkan gubuk bambunya menuju Sanggar Pamujan di balik bukit.
Langkahnya seperti sangat lelah selelah hati dan pikirannya.
Cahaya matahari semakin terik, udara pun amat gerah.
Mpu
Ranubhaya berjalan dibawah bayang-bayang pohon rindang yang meneduhi
jalan-jalan setapak yang disusunnya. Ia tidak bisa melukiskan betapa
perihnya hati dan sakitnya menghadapi suatu kesucian yang telah dinodai.
Kemurnian hati yang dikhianati dan tujuan mulia yang dicabikcabik.
Pengabdian yang tidak murni lagi, diinjak-injaknya kebenaran di balik
keangkaramurkaan manusia.
Mungkin seperti saat itu di mana
ia mencoba menginjak perdu putri malu. Tumbuhan itu serentak
menguncupkan daun-daunnya ketika tersentuh. Begitukah hati manusia?
Selalu mengabaikan pendirian hidup mula-mula ketika kemanisan dan
kenikmatan menghampirinya.
"Tidak! Tidak! Aku tidak mau
seperti putri malu, aku tidak sudi menjilat seperti Hanggareksa." Lelaki
tua itu berseru-seru hingga suaranya menggaung dan menggema tatkala
menyentuh dinding-dinding bukit batu. Ia kemudian berdiam diri sejenak.
Bersidekap dan menghirup udara sedalam-dalamnya. Ia rasakan pusarnya
terasa dingin sekali, kemudian rasa dingin itu menyebar ke seluruh nadi
darahnya. Ia pun merasakan tubuhnya semakin ringan bagaikan tanpa berat.
Itulah ajian Seipi Angin. Ajian untuk meringankan tubuh di samping
untuk mengatasi kegalauan hati. Lelaki tua yang berpakaian
compang-camping dan sangat kumal itu segera melompat dan melayang
bagaikan terbang. Tubuhnya melesat dan akhirnya lenyap di balik
rerimbunan pohon-pohonan liar.
Pada hari itu juga ketika
seorang pemuda tampan sedang mengendalikan kudanya menuju suatu tempat
mendadak ia menghentikan kudanya karena seorang gadis cantik
menghadangnya di tengah jalan. Pemuda itu segera turun lalu menuntun
kudanya menghampiri gadis cantik itu.
Kuda perkasa itu
meringkik seolah-olah ingin bertanya kepada tuannya. Pemuda itu mengelus
bulu suri kudanya kemudian menepuk-nepuk kepala binatang perkasa itu.
"Kaukah yang bernama Arya Kamandanu?”
“Ya. Ada apa?”
“Aku sahabatNari Ratih. Namaku Palastri.”
“Hmmm! Kalau kau mengajakku bicara tentang Nari Ratih, maaf. Aku tidak bersedia melayanimu.”
“Jangan begitu. Nari Ratih merasa sangat berdosa kepadamu. Beberapa hari ini dia kelihatan sangat murung.
Tubuhnya kurus dan matanya cekung karena kurang tidur.”
“Mestinya dia tidak perlu merasa berdosa padaku.”
“Aku
tahu apa yang dirasakannya karena aku sahabatnya yang paling dekat.
Nari Ratih sebetulnya masih mencintaimu " Mendengar penjelasan gadis
cantik yang mengaku bernama Palastri sahabat Nari Ratih itu membuat Arya
Kamandanu tertawa dan terdengar sangat getir, sumbang dan hambar.
Pemuda tampan itu memandang dingin kepada Palastri. Memandangnya dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dipandang seperti itu Palastri merasa
kurang senang, namun ia berusaha memahami perasaan pemuda tampan di
hadapannya yang merasa kecewa atas perbuatan sahabat karibnya.
"Heheheheheh, sudahlah! Sandiwara lelucon ini sudah tidak lucu lagi. Layar sudah diturunkan dan para penonton sudah bubar.”
“Jadi, kau tidak sudi menolongnya, Kamandanu?”
“Aku tidak pantas menolong seorang gadis yang kecantikannya bagaikan bidadari.”
“Kalau
begitu kau sebenarnya tidak mencintainya. Kalau kau mencintainya dan
cintamu itu tulus dan suci, kau pasti akan menolongnya. Nari Ratih hanya
membutuhkan pertemuan denganmu walaupun sekejap mata. Kukira hal itu
tidak sulit untuk kaupenuhi, Arya Kamandanu.”
“Mengapa ia tidak minta tolong pada Kakang Dwipangga?”
“Ini
persoalannya denganmu, bukan dengan saudara tuamu. Hanya kau yang bisa
menolongnya untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi kalau kau keberatan ya
sudahlah. Asal jangan sampai kau menyesal di kemudian hari. Kalau
terjadi apa-apa pada sahabatku itu aku tidak mau tahu lagi!" Selesai
mengucapkan kata itu gadis cantik itu pun segera membalikkan tubuh dan
berlalu dari depan Arya Kamandanu yang ditinggalkan dengan mata setengah
melotot. Nampak bingung dan terkejut, seolah-olah baru sadar dari mimpi
panjang.
"Tungguuu.., hee tunggu, Palastri!”
“Kamandanu,
kalau kau akan menemuinya sekarang, pergilah ke tepi padang ilalang."
Gadis itu bicara tanpa menghentikan langkahnya, hanya sedikit
memalingkan kepalanya kepada pemuda yang dianggapnya terlalu dingin.
Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkahnya.
Arya
Kamandanu geleng-geleng kepala ketika memperhatikan Palastri yang
berkain ketat hingga nampaklah lekuk-lekuk tubuhnya yang sintal dan
padat.
Kedua pantatnya bergoyang-goyang bagai dua bola beradu.
Ia
tersenyum nyinyir dan getir sekali. Ia hela napas dalamdalam sambil
menelan ludah pahit. Pemuda itu kemudian merasa tidak enak, kesal dan
gelisah. Ada keinginan untuk bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu.
Tetapi ketika ia melompat ke atas punggung kuda serta duduk pada
binatang tunggangannya itu ia mulai berpikir.
"Nari Ratih!
Gadis itu telah mengkhianati cintaku dan sekarang ia ingin bertemu
denganku. Apa maksudnya? Atau ia ingin merobek-robek dan mencabik-cabik
nuraniku? Atau aku ini pemuda yang tidak pantas untuk memiliki
kesenangan hati?" Arya Kamandanu berguman sendiri, kemudian perlahan
menarik tali kekang kudanya. Binatang itu meringkik tertahan kemudian
kaki-kakinya pun berderap berirama. Memecah keheningan dan meningkahi
desau angin yang menggoyang-goyangkan dedaunan Bau harum kembang-kembang
liar bercampur dengan bau serangga pun menghampiri penciuman pemuda
yang dilanda kegelisahan itu Bau walang sangit yang menampar hidungnya
membuatnya terjaga dari lamunan. Bersamaan dengan itu ia menyentakkan
tali kekang kuda kuat-kuat hingga kudanya melompat bagaikan terbang
dengan meninggalkan suara berderap semakin menjauh dan tinggal
sayup-sayup.
Pemuda itu terguncang-guncang di atas kudanya
yang berbulu cokelat mengkilat. Tegar dan perkasa. Angin kencang pun
menampar wajahnya hingga kadangkala ia terpaksa memejamkan mata untuk
mengurangi rasa perih bahkan air mata pun keluar karena terlalu
kencangnya kuda itu berlari. Akhirnya kuda perkasa itu pun sampailah di
suatu tempat. Tempat yang benar-benar menawan dengan panorama alam.
Angkasa dan buana seolah-olah menyatu.
Angkasa langit biru yang berhias awan-awan cirrus, awanawan yang putih halus bagaikan kapas bertebaran.
Di
kejauhan tampak gunung dan pegunungan yang biru mengelabu seolah-olah
ingin mencium bibir langit yang ranum. Kemudian lembah dan ngarai yang
menghijau bagaikan permadani menghampar begitu luas menyejukkan mata
yang memandangnya. Sepoi angin dan desaunya menggiring pada siapa saja
untuk sejenak memejamkan mata. Agar suara gemerisik dedaunan semakin
jelas, agar cericit dan kicau burung pun makin merdu seiring detakdetak
jantung hati yang menggema mengucapkan segala puji dan syukur ke hadirat
Dewata Yang Agung atas segala kebesaran dan anugerah-Nya yang
benar-benar ajaib.
Sengatan sinar surya bukanlah suatu hal
yang ganas, tetapi cukup bersahabat sebab seringkah awan yang melintas
didera angin mengurangi teriknya.
Arya Kamandanu tersenyum
seorang diri, ia pejamkan matanya. Menghirup udara segar sepuas-puasnya
yang membawa aroma bunga-bunga hutan, bunga-bunga liar, bunga-bunga
rumput dan ilalang.
Namun, ia tersentak tatkala kuda kesayangannya meringkik panjang.
Lagi-lagi
ia tersenyum seorang diri sebab binatang itu mungkin tahu bagaimana
mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung atas kebahagiaan tersendiri
yang menyelinap di lubuk hati tuannya di tengah kepedihannya selama ini.
Pemuda itu pun melompat dari punggung kuda.
Memanjangkan
tali kekang kuda itu serta menambatkannya pada sebuah batang pohon
perdu. Buih dari mulut kuda yang kelelahan itu menetes di rerumputan
seiring dengus yang memburu. Pemuda itu kembali mengelus kepala kudanya.
Mengusap bulu suri dan menepuk-nepuk leher kudanya dengan penuh kasih
sayang. Kuda itu meringkik manja dan mengangkat kepalanya tatkala
tuannya perlahan melangkah meninggalkannya. Tuannya berjalan di antara
rumpun-rumpun ilalang yang tumbuh sangat subur hampir sedada.
Pemuda
itu kemudian mengangkat kepalanya, dahinya berkerut-kerut. Jantungnya
berdebar-debar ketika ia harus menghentikan langkahnya di belakang
seorang gadis berambut panjang, hitamdan bergelombang.
Rambut itu berhias seuntai kembang melati yang terangkai di tusuk konde dibiarkan berjuntai di telinganya.
Tusuk
konde berbingkai emas itu sengaja diselipkan di rambut di atas telinga
kanannya, padahal biasanya rambut itu digelung dan dikunci dengan tusuk
konde itu. Rambut hitam panjang bergelombang gadis itu sesekali berderai
didera angin sepoi padang ilalang pinggir desa Kurawan.
Gadis
cantik itu belum menyadari akan kehadiran seorang pemuda gagah dan
tampan yang sejak tadi menahan napas oleh kekaguman dan keagungan
ciptaan Dewata yang nyaris sempurna.
Pemuda itu perlahan
sekali melangkahkan kaki kanannya dan kembali berhenti. Bibirnya
bergetar dan meliuk-liuk tatkala dari sana meluncur suara sangat lirih,
"Ratih!" suara yang sangat lirih itu seolah-olah tercekat di tenggorokan
pemuda itu.
Gadis yang dipanggil namanya setengah
terkejut berpaling pada seseorang yang memanggilnya. Suara yang tidak
asing lagi di telinganya. Ia tersenyum simpul. Bibir merah jambu itu
bergetar dan meliuk-liuk. Matanya yang bulat besar dan indah tampak
sayu, agak cekung. Pada sekitar matanya, pelupuknya tergambar
garis-garis kecokelatan. Hidungnya yang bangir tampak mencuat melengkapi
keindahan bibirnya yang mungil. Ia tetap menyunggingkan senyuman yang
paling indah sekalipun dari sinar wajah itu menunjukkan luka dan duka
panjang.
Luka dan duka akan sebuah hati, sebuah nurani
yang tercabik. Lalu gadis itu berkata lirih pada seseorang yang selama
ini sangat dekat di hatinya.
"Akhirnya kau datang juga, Kakang Kamandanu.”
“Kau masih membutuhkan kehadiranku di tempat ini?”
“Jangan
begitu, Kakang. Kita pernah menjadi milik tepi padang ilalang ini. Kita
pernah menjalin hubungan yang akrab dan manis di tempat ini.”
“Semua
itu sudah berlalu, Ratih." Perih kata-kata itu meluncur dari bibir
pemuda itu. Gadis itu kemudian bangkit perlahan sekali dari duduknya.
Batu hitam tempat duduknya itu masih kelihatan kelimis dan licin
pertanda betapa seringnya batu hitam itu menjadi tempat yang istimewa
bagi mereka. Gadis itu berdiri tepat di sisi pemuda yang sangat
dicintainya. Kemudian ia pun mendesah sangat lirih.
"Yaah... agaknya begitu, Kakang. Semuanya sudah harus berlalu.”
“Sebenarnya aku tak ingin pertemuan semacam ini lagi.
Aku sudah menguburkan semuanya. Tak ada yang perlu diingat ataupun dikenang.”
“Aku yang menginginkan pertemuan ini, Kakang. Bukan kau.”
“Untuk apa?”
“Untuk melihat pelangi itu yang terakhir kalinya bersamamu. Pelangi yang penuh warna-warni, indah sekali.”
“Tidak. Pelangi itu bagiku tidak indah lagi. Mataku justru menjadi sakit setiap kali memandangnya.”
“Yah,
semua ini memang salahku, Kakang. Aku wanita yang berdosa Aku tidak
pantas lagi memandang pelangi di tepi padang ilalang ini. Aku mestinya
sudah dicampakkan ke dalam lumpur neraka. Aku menyesal, Kakang. Aku
menyesal sekali telah mengkhianati cintamu." Desah suara gadis itu kian
lelah, bahkan teramat berat, hingga tanpa disadarinya meluncurlah
butir-butir bening air matanya di pipinya yang halus dan lembut.
Hidungnya kembang kempis memerah mengeluarkan ingus. Gadis itu
seolah-olah meratap, namun tidak ada yang mengulurkan tangan buat
membelai dan mengasihinya. Hati nuraninya benar-benar tercabik.
@@@
BERSAMBUNG
Tutur Tinular buku 3 - Nurani Yang Tercabik 1,2 , 3, 4, 5, 6, 7 TAMAT
0 Response to "Novel Tutur Tinular - Nurani Yang Tercabik"
Post a Comment