Novel Tutur Tinular - Cinta Yang Terkoyak

Penulis : Buanergis Muryono & S. Tidjab
405467_337481219597069_192286002_n.jpg
Seindah pelangi pucuk-pucuk cinta bersemi semuram malam berkabut nurani cinta yang tercerabut!
@@@
1
Karena merasa kurang diperhatikan Nari Ratih menjadi tersinggung- Dia kesal dan kecewa. Dia berharap Arya Kamandanu mencurahkan isi hatinya, namun harapannya itu tak pernah menjadi kenyataan. Arya Kamandanu yang pemalu dan peragu bahkan berusaha menghindari kata-kata cinta. Akhirnya, Nari Ratih mengibaskan tangannya dan melompat ke halaman candi.
"Ratih! Ratih! Mau ke mana kau Ratih?" seru Arya Kamandanu terhenyak ketika melihat Nari Ratih berlari menembus deras air hujan.
"Pulang!”
“Tunggu! Apa salahku, Ratih? Apa salahku?”
“Tanya pada dirimu sendiri, Kakang!”
“Ratiiihh! Tunggu! Tungguuu, Ratih! Jangan tinggalkan aku!" Mereka kejar-kejaran menembus padang ilalang di bawah guyuran air hujan. Napas Nari Ratih terengahengah.
Sesekali menoleh ke belakang takut Arya Kamandanu dapat menyusul dan menangkapnya. Ia tidak peduli kakinya yang mulus tergores rumpun ilalang yang cukup tajam.
Sementara Arya Kamandanu seperti bangun dari lamunan, kesetanan mengejar dara jelita itu Dalam hatinya ada rasa penyesalan karena meragukan cinta gadis itu. Nari Ratih terus berlari sambil menutup kedua telinganya ketika suara petir menggelegar dan menyambar pohon kelapa.
Kilat pun menjilat-jilat mengerikan di langit yang kian menghitam.
Karena langkah Arya Kamandanu jauh lebih lebar dan cepat, akhirnya ia berhasil menyusul Nari Ratih, ia tangkap pundak gadis itu dan ia hadang di depannya. Dengan napas terengah ia coba menahan gadis pujaan hatinya,"Ratih!" Nari Ratih menghindar dan mendera Arya Kamandanu sambil berusaha meninggalkan pemuda itu,"Jangan mengikuti aku. Aku bisa pulang sendiri, Kakang!" Arya kamandanu tak mau kalah, ia tetap menghalangi Nari Ratih agar tidak berlari lagi. Apalagi di sisi kanan Nari Ratih terdapat jurang yang dalam, sedangkan padang ilalang di sisi kiri Nari Ratih tidak mungkin ia terabas karena terlalu lebat. Napas keduanya terengah-engah "Apa salahku? Mengapa tiba-tiba kau membenci aku, Ratih?”
“Aku tidak membenci siapa-siapa. Aku membenci diriku sendiri.”
“Marilah kita berteduh! Jangan hujan-hujanan, nanti kau sakit, Ratih!”
“Biar saja sakit “
“Jangan begitu Ratih. Kukira kita hanya salah paham.
Baiklah aku minta maaf kalau memang kau anggap ada sikapku yang telah menyakiti hatimu.”
“Sudahlah, Kakang! Lupakan saja. Sebaiknya Kakang pulang saja, jangan ikuti aku lagi “
“Ratih! Lihatlah, pelangi itu masih ada di sana.”
“Pelangi itu sebentar lagi akan lenyap.”
“Tapi besok pelangi itu akan muncul lagi, kita masih bisa menikmatinya berulang kali “
“Aku tidak tertarik lagi melihat pelangi. Kalau kau masih terpesona padanya, lihat saja sendiri Bagiku pelangi itu membosankan, tidak indah lagi seperti dulu. Nah, aku pergi, Kakang!”
“Tunggu, Ratih!”
“Awas, Kakang! Kalau Kakang mendekati aku, maka aku akan melompat ke dalam jurang " Ancaman Nari Ratih tidak sembarangan. dengan berkata demikian ia melangkah beberapa tindak ke samping kanan mendekati bibir jurang Arya Kamandanu terperangah dengan kenekatan Nari Ratih. Gadis itu tidak main-main Kini ia berusaha menahan diri dan mengalah. Ia biarkan Nari Ratih meninggalkannya.
Gadis itu langsung berlari begitu mendapat jalan Arya Kamandanu baru berjalan dan berlari kecil jauh di belakang Nari Ratih, ia memperlambat kejarannya, kemudian berhenti agak jauh dari Nari Ratih yang menghentikan langkahnya di tepi jurang ketika tahu Arya Kamandanu terus membuntuti Napas mereka terengah-engah. Arya Kamandanu sangat cemas. Hatinya berdebar-debar, khawatir sekali jika Nari Ratih benar-benar nekad. Untuk itu ia hanya bisa memandanginya dengan wajah sendu. Sedih sekali penuh penyesalan. Dalam hatinya ia berbisik, "Ratih, mengapa jadi begini? Rupanya kau benar-benar tersinggung. Kau marah dan membenci aku. Baiklah! Aku memang pantas kaubenci. Aku sama sekali tak berharga di depanmu." Melihat Arya Kamandanu bengong dan hanya menatapnya dari jauh serta tidak berusaha mengejarnya lagi, maka Nari Ratih berseru, "Kita berpisah sampai di sini, Kakang! Selamat tinggal! Kau jangan menemui aku lagi!" selanjutnya gadis jelita itu terus berlari menyusuri bibir tebing. Rambutnya yang basah terurai panjang melekat pada kulitnya yang kuning langsat. Ia terus berlari sambil memegangi kainnya yang terkoyak.
Arya Kamandanu hanya dapat memandangi kepergian gadis itu yang semakin jauh dan akhirnya hilang di balik semak. Dalam hatinya merutuk seiring getar bibirnya yang makin biru karena kedinginan diguyur air hujan, "Ohh, mengapa pengalamanku seperti bait syair yang ditulis Kakang Dwipangga? Sakit sekali rasanya. Suatu derita panjang di malam yang dingin dan kelam.
Arya Kamandanu mengepalkan kedua tangannya, menghela napas dalam-dalam untuk memerangi rasa dingin yang menggigit. Ia terhenyak dan tergagap teringat kekasihnya, "Ratih! Di mana Ratih? Ohh, dia sudah pergi.
Kasihan Nari Ratih Aku akan mengikutinya dari kejauhan.
Aku takut sesuatu akan menimpa gadis itu di jalan." Baru selesai bergumam terdengar guntur menghajar langit hitam.
Arya Kamandanu merunduk sambil menutupi kedua telinganya, baru kemudian ia melompat menyusul ke arah perginya Nari Ratih yang sudah jauh dari pandang matanya. Bahkan ia tidak melihat bayangan gadis itu lagi karena cuaca semakin buruk.
Hujan bertambah deras. Arya Kamandanu terus berlari menyusuri bibir tebing yang makin licin. Kakinya sudah kotor oleh lumpur. Arya Kamandanu meraup wajahnya yang kuyu, mengerjap-ngerjapkan matanya yang perih kemasukan air hujan. Ia berhenti sambil berusaha memandang Nari Ratih yang sudah jauh dari hadapannya.
Seperti bola hitam tersembul dan tenggelam dipermainmainkan gelombang. Demikianlah Nari Ratih kadang muncul kadang lenyap dari pandangan Arya Kamandanu.
"Nekad sekali gadis itu. Dia terus berlari dalam hujan.
Tapi untung tidak terjadi apa-apa. Aku khawatir dia tibatiba sakit dan jatuh pingsan. Akh, mengapa aku berhenti di sini? Aku harus mengikuti Nari Ratih* Aku harus melihat dia tiba dengan selamat di rumahnya." Tersadar dari bengongnya Arya Kamandanu kembali melompat, berlari sekencang-kencangnya mengejar gadis cantik pujaan hatinya.
Setelah beberapa saat lamanya kejar-kejaran dalam cucuran air hujan, akhirnya dua insan itu pun menghentikan langkahnya. Nari Ratih menengok ke belakang sekilas sebelum memasuki pekarangan rumahnya.
Arya Kamandanu buru-buru menyembunyikan wajahnya di balik daun-daun talas di seberang jalan. Pemuda desa Kurawan itu menarik napas panjang setelah melihat gadis yang dicintainya masuk ke rumah. "Syukurlah. Dia selamat sampai di rumahnya. Ohh, Ratih. Mengapa kau mengajakku berkejar-kejaran dalam hujan lebat?" Arya Kamandanu geleng-geleng kepala lalu memukul jidatnya dengan tangan kanannya. Ia tertawa sekalipun perih. Tawa masghul lelaki yang kecewa. Kembali ia pandangi rumah Nari Ratih yang telah tertutup, "Apakah perangai setiap gadis memang begitu? Kadangkala sukar dimengerti. Atau barangkali aku yang terlalu bodoh memahami perasaan seorang wanita?" Arya Kamandanu bingung, ragu-ragu dengan apa yang hendak dilakukannya. Pemuda tampan itu memandang langit. Masih berhias awan-awan kelabu. Kedua tangannya mengembang menadah ke langit sambil tersenyum sendiri di antara tanaman talas, "Ahh, hujan sudah berhenti. Aku harus segera pulang." * Arya Kamandanu segera melangkah, masih menoleh ke pintu rumah Nari Ratih yang terkunci rapat. Dengan gontai ia berjalan menuju desa Kurawan. Sekali-sekali dia terpaksa melompati genangan air di sepanjang jalan. Suatu saat ia berhenti, lalu wajahnya tengadah ke angkasa yang masih diselimuti mendung kian menebal. "Pelangi itu sudah lenyap. Hanya tinggal kehampaan menghitam di langit. Ke manakah perginya pelangi itu? Ke manakah harus kucari keindahan dalam hidup ini?" gumamnya seraya melanjutkan langkahnya meninggalkan perbatasan desa Manguntur. Mendadak di sebuah tikungan jalan muncul tiga orang pemuda menghadangnya.
"Hemmhh, pemuda-pemuda brengsek!" gumamnya geram sambil bersiaga menghadapi segala kemungkinan buruk.
"Nah, kita bertemu lagi, Kamandanu!”
“Kau jangan mengajakku ribut lagi, Dangdi." Anak kepala desa Manguntur itu semakin mendekati Arya Kamandanu dengan senyuman sinis. Kedua tangannya bertolak-pinggang "Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan membalas pukulanmu di pelipis kiriku ini?”
“Dan untuk itu kau merasa perlu membawa dua orang temanmu itu?" hardik Arya Kamandanu.
"Kau ingin berkenalan dengan mereka?" Dangdi makin sinis dan menjelaskan pada Arya Kamandanu dengan gerakan dagunya,"Yang berdiri di samping kananku ini Jaruju, anak desa Manguntur Selatan. Sedang di sebelah kiriku, Balawi, anak desa Tumangkar.”
“Diakah yang kaukatakan itu, Dangdi?" tanya pemuda di samping kanan Dangdi. Nada suaranya meremehkan Arya Kamandanu. Dangdi mengangguk dengan mantap dengan senyuman sinisnya.
"Jadi, kau yang bernama Arya Kamandanu, anak desa Kurawan?" geramsekali Balawi menyambung.
"Benar, aku Kamandanu.”
“Kau jangan sombong, Kamandanu. Mentang-mentang ayahmu seorang ahli senjata pusaka, lalu kau berani sok jago," Jaruju dengan suara parau mencoba menyudutkan Arya Kamandanu.
"Kalian berdua disuruh oleh anak Kepala Desa Manguntur itu?" tanya Arya Kamandanu dengan datar tetapi mantap.
Hal itu membuat Balawi mendelik dan menghardik, "Kurang ajar! Lidahmu tajam! Pantas Dangdi menaruh dendam padamu.”
“Kami disuruh apa oleh Dangdi, bukan urusanmu. Kau sudah menyakiti orang, dan sekarang kau akan disakiti pula oleh orang lain!" tukas Jaruju dengan suara semakin parau.
"Aku tahu kalian bertiga sengaja menghadang aku untuk membuat keributan baru Kalian mau mengeroyok aku.”
“Jika sudah tahu apa kau bermaksud melarikan diri?" cemooh Balawi sambil bertolak pinggang dan giginya gemeretuk. Cercaan itu disambut dengan tawa panjang Dangdi seraya melangkah lebih dekat pada Arya Kamandanu yang berdiri tegak setengah memasang kudakuda mengingat ketiga pemuda itu ingin mengeroyoknya.
Dangdi menyipitkan matanya, memoncongkan bibir seraya mengejek Arya Kamandanu, "Hahahah, kau boleh berlari, tapi sebelumnya kami bertiga akan membuatmu babak-belur lebih dahulu. Ayo Jaruju, Balawi, kita mulai! Hiaaaattt!" Mereka bertiga langsung saja menerjang dan menendang.
Kaki mereka menghajar Arya Kamandanu tanpa ampun.
Dalam gebrakan pertama Arya Kamandanu terjengkang dan jatuh terhempas di lumpur. Pakaiannya yang masih basah bertambah belepotan. Ia menyangga tubuhnya dengan kedua sikunya. Napasnya turun naik menahan emosi.
"Kau licik, Dangdi!" Kamandanu menyeka lumpur yang mengotori sebagian wajahnya.
"Hahahahaha." Dangdi dan kedua kawannya terbahak panjang, "Ayo bangkitlah anak pande besi! Atau kau lebih senang berkubang dalam lumpur itu?”
“Kau licik, hanya berani main keroyok!" tukas Arya Kamandanu berusaha bangkit.
"Diam kau tikus comberan! Kami tidak akan berhenti sampai di sini. Bukankah sudah kukatakan bahwa luka di pelipisku ini harus kaubayar lebih mahal! Ayo, Jaruju, Balawi, kita mulai lagi!" Kembali mereka menghajar Arya Kamandanu tanpa ampun sebelum dia bangkit dari lumpur. Beberapa pukulan dan tendangan telah menghantam tubuh Kamandanu sekalipun ia berusaha mengelak.
"Ouhh, aku akan membalas perbuatan kalian ini! Oukhhhh!" ancamnya masih terduduk di lumpur.
"Hahahahah! Apa yang dia katakan itu, Jaruju?”
“Katanya dia mau membalas.”
“Kalau mau membalas cepat bangun dan hadapilah kami bertiga! Hahahahahah..." Balawi menyahut disambung dengan tawa cemooh Mulutnya terbuka lebar dan matanya jelalatan.
Tanpa diduga oleh mereka bertiga, Arya Kamandanu bangkit dan melompat memberikan suatu perlawanan. Ia menerjang, menendang dan menjotos Balawi, lalu Jaruju juga mendapat bagian, sedangkan Dangdi berusaha berlindung di balik kedua temannya. Arya Kamandanu membabi-buta. Perkelahian semakin sengit. Baku hantam yang kurang terkontrol membuat para pemuda itu harus menanggung risiko babak belur.
Arya Kamandanu wajahnya memar-memar, bengkak membiru karena pukulan Balawi yang amat keras.
Balawi pelipisnya robek, hidungnya mengeluarkan darah oleh sapuan tendangan Arya Kamandanu. Demikian juga Jaruju, matanya sebelah kanan memerah dan membengkak bahkan mulai kelihatan biru keunguan oleh jotosan mentah Arya Kamandanu.
Dangdi sendiri bibirnya belepotan darah dan retak.
Pelipisnya pun kembali mengucurkan darah karena terkena tendangan ulang Arya Kamandanu.
Sekalipun langit makin gelap, mereka masih saling menantang. Tapi Dangdi menarik kedua kawannya, mereka meninggalkan Arya Kamandanu sendirian dengan wajah penuh lebam.
Malam merayap dan berkabut akibat hujan masih merinai. Arya Kamandanu meninggalkan tempat perkelahian dengan sempoyongan. Perih, pedih, pegal-linu di sekujur tubuhnya. Tiba-tiba ia merasakan dingin dan menggigil. Tidak lama setelah ketiga musuhnya berlalu ia terhuyung dan pingsan di pinggir jalan.Matanya berkunang dan suasana makin gelap.

BERSAMBUNG Tutur Tinular - Cinta Yang Terkoyak1,2 , 3, 4,5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 - TAMAT

1 Response to "Novel Tutur Tinular - Cinta Yang Terkoyak"

  1. this is a very great novel indeed Novel Tutur Tinular Cinta Yang Terkoyak

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel