Novel Tutur Tinular - Pelangi di Atas Kurawan

390265_10150395758636160_1954735698_n.jpg
Pada tahun Caka 1206 (1284 Masehi) kekuasaan Raja Kertanegara mencapai puncaknya di Singasari. Pulau Bali berhasil ditundukkannya. Demikian pula Kerajaan Gurun, Bakulapura, Pahang, Sunda, dan Madura. Demikianlah, Singasari semakin mengembangkan sayap kekuasaannya di luar Pulau Jawa.
Walaupun demikian Kertanegara belum merasa puas.
Dia mulai melihat kemungkinan untuk menundukkan Swarnabhumi. Pada bulan Agustus 1286 pasukan Singasari berangkat ke negeri seberang mengadakan ekspansi ke Swarnabhumi yang sekarang kita kenal bernama Sumatra.
Raja Swarnabhumi yang bernama Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa akhirnya dapat dikalahkannya Gegap-gempita, sorak-sorai prajurit Singasari membahana. Mereka mengacung-acungkan senjata yang masih berlumuran darah. Lautan manusia memenuhi alunalun tempat para ksatria menunjukkan olah keprajuritan.
Mereka mengelu-elukan kebesaran Raja Kertanegara.
Kemenangan demi kemenangan diraihnya, bahkan enam tahun kemudian Kertanegara menaklukkan negeri Melayu pada tanggal 17 April 1292. Dengan kemenangan itu karena sangat gembiranya Raja Kertanegara mengeluarkan prasasti Camunda sebagai tanda terima kasih atas kemenangankemenangan yang diperolehnya Di pertemuan agung Raja Kertanegara mengenakan busana kebesaran. Mahkota yang dikenakannya bertatahkan permata manik manikam tampak berkilau-kilau menyilaukan mata. Bajunya bersulam emas Raja Kertanegara duduk di atas singgasananya dengan penuh wibawa, bibirnya tersungging senyum. Kumisnya yang tebal tercukur rapi. Hidungnya mancung serasi dengan alisnya yang tebal, melindungi manik mata beliau yang tajam menatap bagai mata elang. DaSanya mengembang hingga terlihat semakin gagah ketika menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.
Jakunnya bergerak-gerak tampak jelas di lehernya yang bersih berwarna sawo matang.
Raja Kertanegara bangkit dari singgasananya dan memberikan salam pada yang hadir dengan anggukan kepala penuh kewibawaan. Segenap yang hadir serempak menyambut salam sangRaja, "Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahai Sang Ciwa Rahaja!" Sambutan itu berakhir bagai dengung berjuta lebah yang terbang dari sarangnya. Para ksatria dan tamtama serta segenap hadirin yang diundang di Pendapa Agung itu menghaturkan sembah sampai ke tanah.
Raja Kertanegara tersenyum, bibirnya bergetar ketika bersabda, "Terima kasih. Salam kalian kuterima dengan senang hati. Mudah-mudahan berkenan pula bagi para dewa yang bersemayam di atas langit.
Kembali Raja Kertanegara menghela napas, tampak butir-butir keringat mengembun menghiasi dahi dan pelipisnya, juga ujung hidungnya yang bangir. Kemudian ia melanjutkan sabdanya, "Kalian semua kuundang untuk berkumpul di Pendapa Agung ini agar menjadi saksi hidup dengan adanya prasasti yang baru saja diselesaikan oleh Sudharmopapatti.
Pandangan Raja Kertanegara menghunjam ke arah Sudharmopapatti yang duduk bersila dan menghaturkan sembah. Para hadirin pun memberikan penghormatan dengan sinar mata iri bercampur haru atas penghormatan baginda raja pada seorang yang berhasil merampungkan prasasti Camunda. Semua berbisik-bisik lalu kembali pada posisi seperti semula "Kita semua mengerti, banyak yang bisa kita capai dengan gemilang tahun-tahun terakhir ini.
Singasari bukan lagi sebuah tempurung di Muara Sugalu yang mengapung-apung, melainkan telah berubah, telah berganti menjadi sebuah armada kapal perang yang ditakuti negeri-negeri lain yang jauh. Arca Amoghapasa yang kutanam di permukaan Swarnabhumi adalah bukti yang tak bisa disangkal, sekalipun oleh orang yang kurang berpengetahuan.
Raja Kertanegara diam sejenak. Guratan-guratan usia yang menghiasi wajahnya tak mampu menyembunyikan ketampanannya, bahkan menambah kewibawaan orang utama di Singasari itu. Matanya melirik pada Lembusora yang menggeser posisi duduknya. Lembusora menghaturkan sembah Lelaki setengah tua yang perkasa itu dengan tegas memotong menimpali sabda Raja, "Memang benar, Gusti. Apa yang telah diraih Singasari merupakan kebanggaan yang tak bisa dipungkiri.
Lembusora kembali menghaturkan sembah dan duduk seperti semula.
"Nah, itu semua berkat jerih payahmu juga, Paman Lembusora. Juga jerih payah kalian, Ranggalawe, Nambi, Kebo Anabrang, menantuku Dyah Wijaya dan Ardaraja!" Semua yang disebut namanya menghaturkan sembah sambil menyunggingkan senyum penuh rasa bangga.
"Kau pun ikut berjasa, Paman Banyak Kapuk, Gajah Pagon, dan kau, Ra Podang. Semua ini adalah pekerjaan kita semua Bukankah demikian?”
“Benar, Sang Prabu!" sambut hadirin bergema memenuhi ruangan Pendapa Agung.
Raja Kertanegara lalu duduk kembali di singgasananya seraya mengelus janggutnya, tanpa melepaskan pandangan pada semua yang hadir. Seolah ia berpikir keras. Ia menghela nafas dalam-dalam setelah merasa enak dalamduduknya.
"Nah, sekarang dengar. Pekerjaan yang baik sudah sepantasnya mendapat hadiah atau penghargaan.
Sebaliknya, pekerjaan yang buruk, yang sering dilakukan oleh para pemalas dan sok pintar, sudah seharusnya diberi hukuman untuk peringatan bagi yang lain. Banyak Wide contohnya Dia kuturunkan kedudukannya dari Rakyan Demung menjadi Adipati di Sumenep, karena menentang kebijaksanaanku. Juga Ramapati kupecat, sebab tidak setuju ketika aku merencanakan menundukkan Swarnabhumi. Itulah hukuman yang setimpal bagi para penentang, pembangkang, dan pengkhianat negeri Singasari.
Raja Kertanegara menegakkan posisi duduknya lalu memandang Dyah Wijaya. Merasa dirinya diperhatikan ksatria muda itu segera menghaturkan sembah dengan menundukkan kepalanya penuh hormat.
"Menantuku DyahWijaya!”
“Daulat, Ayahanda Prabu.
"Dan kau juga, Ardaraja!”
“Daulat, Ayahanda Prabu!”
“Dalam prasasti Camunda yang baru saja dirampungkan, tercantum keputusan Kertanegara sebagai raja yang sah di Singasari Pada lempengan batu ini aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa mereka yang telah membantu seluruh usahaku.
Kepada mereka aku akan memberikan penghargaan yang layak. Baik jasa yang besar maupun yang kecil, semua akan mendapat imbalan dari pemerintah Singasari. Dan kalian berdua, kutugas-kan untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan pemberian ini. Ingat, jangan sampai ada yang tercecer. Semua yang telah berjasa harus menikmati hasilnya!”
“Daulat, Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakan perintah sebaik-baiknya," sahut Dyah Wijaya menghaturkan sembah.
"Demikian pula Ananda akan menjunjung tinggi perintah Ayahanda Prabu," Ardaraja menimpali.
"Nah, kalau begitu pertemuan di Pendapa Agung ini aku tutup sampai di sini. Tak lupa kita panjatkan puji syukur pada para dewa, yang memberikan rahmat-Nya pada kita semua.
"Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahai Sang Rahaja!" Selesai menerima hatur sembah dari para ksatria dan orang-orang terdepan Singasari, Raja Kertanegara meninggalkan Pendapa Agung. Langkahnya yang gagah diiringi para dayang yang cantik jelita dengan tak hentihenti mengayun-ayunkan kipas. Para hadirin pun undur dari pase-ban Pendapa Agung dengan hati berbunga-bunga atas anugerah dan penghargaan sang Raja. Lebihlebih nama mereka dicantumkan pada lempengan batu prasasti Camunda.
Sementara itu, di barak prajurit sedang bercakap-cakap dua orang yang merasa bahagia atas kebesaran rajanya.
Yang satu Ganggadara, seorang prajurit muda. Otot-otot tangannya menonjol karena terlatih dalam olah keprajuritan. Kumisnya tebal dengan rambut disanggul menambah kegagahannya. Sedangkan yang seorang lagi bernama Jarawaha. Ia juga tak kalah gagah dengan Ganggadara.
"Kakang Jarawaha! Kupikir kita ini akan semakin mulia.
Raja kita sekarang semakin hebat dan namanya terdengar di mana-mana," Ganggadara membuka percakapan "Di mana letak kehebatannya menurut pendapatmu, Adi Ganggadara?" Dia tegas dan tergolong seorang raja yang berani.
Bayangkan, Swarnabhumi yang megah dapat ditundukkan tanpa kesukaran. Aku bangga bisa mengabdi pada raja seperti Prabu Kertanegara. Ganggadara bicara dengan lantang penuh rasa bangga atas junjungannya, hingga bibirnya ikut meliuk-liuk penuh irama seiring nada bicaranya.
"Ya, aku pun merasa bangga mempunyai raja seperti beliau. Tapi aku mempunyai alasan yang berbeda. Dengan dibuatnya prasasti Camunda, semakin tampak arif dan bijaksanalah beliau. Seorang raja besar bersedia menekuk leher menundukkan-wajah untuk mengucapkan rasa terima kasih pada rakyat dan bawahannya, itulah yang luar biasa Kukira belum pernah terjadi sebelum Prabu Kertanegara.
"Benar, Kakang. Jasa orang, baik yang kecil maupun yang besar, baik dari kalangan bawah, menengah ataupun golongan atas, semua diperhatikan dan diberi penghargaan.
Rasanya pekerjaan kita tidaklah sia-sia!" Selesai bicara dengan gagahnya Ganggadara mencabut pedang dari wrangka-nya, lalu menimangnya dan mengelus dengan telapak tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman penuh rasa bangga "Dua kali aku terlibat peperangan bersama pedang kebanggaanku ini. Pertama ketika menyerang Pulau Bali, dan kedua ketika merebut ibukota Swarnabhumi.
"Dan sekarang pangkatmu naik menjadi perwira muda!" tukas Jarawaha.
"Dan Kakang Jarawaha menjadi perwira tinggi!”
“Dan atasan kita, Tuan Pranaraja, naik pangkat menjadi....
Belum selesai melanjutkan kata-katanya terdengarlah suara derap kaki kuda. Jarawaha setengah menganga memperhatikan siapa yang datang. Ganggadara membisikkan sesuatu pada telinga Jarawaha.
"Sssstth, Kakang Jarawaha, bukankah itu Tuan Pranaraja?”
“Hmh, ya. Pasti ada sesuatu yang penting. Tidak biasanya sepagi ini Tuan Pranaraja datang ke barak prajurit.
Kuda semakin dekat dengan mereka lalu Pranaraja menghentikannya tak jauh dari mereka bercakap. Pranaraja melompat turun dari punggung kuda dan binatang kesayangan itu meringkik mengerti. Keduanya menyambut kehadiran atasannya penuh hormat.
"Selamat pagi, Tuan!" salam mereka berbarengan.
"Sarungkan pedangmu Ganggadara. Negara Singasari aman dan kita belum merencanakan perang lagi dengan negara lain!" tegur Pranaraja sambil memandang tajam ke arah Ganggadara yang memegang pedang. Ganggadara merah padam wajahnya lalu tersenyum malu pada Pranaraja dan tergesa-gesa menyarungkan pedangnya.
"Emh, ehh, maaf, Tuan!" ucapnya lirih dengan suara agak parau menyadari keteledorannya.
"Aku ada perlu dengan kalian berdua.Mari kujelaskan di dalam!" kata Pranaraja-penuh wibawa. Lelaki agak tua itu masih tampak gagah. Tubuhnya kekar. Otot-ototnya menonjol dan tangannya amat kukuh. Telapak tangannya tebal agak kasar karena sering berolah kanuragan.
Ketiganya pun berjalan menuju barak prajurit. Pranaraja memberi tahu bahwa ia mendapat tugas dari Sang Prabu untuk menemuiMpu Hanggareksa di desa Kurawan. Letak desa itu dekat dengan desa Jasun Wungkal. Dapat ditempuh dengan berkuda menuju arah tenggara dari Kotaraja Singasari.
Ketiga orang itu segera berkemas-kemas untuk mengadakan perjalanan menuju desa Kurawan tempat Mpu Hanggareksa tinggal.
Matahari telah tinggi. Panasnya menyengat membuat musim kemarau tampak gersang. Seluruh kota Singasari bermandikan keringat.
Mendadak debu-debu jalan beterbangan, bercampur baur dengan daun-daun kering yang gugur ke bumi ketika tiga ekor kuda berlari bagaikan terbang. Tiga binatang perkasa itu terus berlari menuju perbatasan kota untuk kemudian meninggalkan Singasari.
Tiada terasa seharian penuh mereka telah mengadakan perjalanan. Telah lama sinar matahari meredup bersembunyi di peraduannya. Keadaan semakin gelapgulita.
Ringkik kjida dan derapnya yang melemah menunjukkan binatang-binatang itu telah lelah seperti para penunggangnya. Mereka memasuki sebuah desa dan memperlambat lari kuda sambil mencari-cari rumah penduduk untuk menginap semalam. Mereka menginap di desa Jasun Wungkal di sebuah penginapan yang tak begitu besar. Suasana desa di malam itu cukup tenteram Kerlip lampu-lampu yang berasal dari pintu rumah penduduk yang masih terbuka menunjukkan suasana desa itu cukup aman.
Ada seorang wanita berdiri di depan rumah, tersenyum ramah memperhatikan tiga penumpang kuda yang mendekatinya. Melihat ketiga prajurit Singasari yang turun dari kuda, maka wanita itu menghampiri. "Ehh, maaf, sepertinya Tuan bertiga ini datang dari jauh? Apa yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu sopan.
Pranaraja setengah melotot memandang rendah pada orang yang menyapanya. "Hemh, apa kau sama sekali tidak mengenal lencana keprajuritan?”
“Kami adalah prajurit-prajurit Singasari. Yang sedang kauajak bicara ini adalah Panglima Muda Tuanku Pranaraja!" sangat tegas dan bernada tinggi Ganggadara menjelaskan.
"Kami mengemban tugas dari Sang Prabu Kertanegara!" sambung Jarawaha, dalam dan wibawa.Mengetahui hal itu orang tersebut langsung memberikan sembah penuh hormat. Tubuhnya menggigil karena merasa bersalah.
Dengan wajah menunduk ia merasa menyesal karena berlaku lancang pada perwira Singasari. "Ohh, ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak tahu. Hamba memang orang bodoh dan pantas dihukum!”
“Sudahlah. Tak ada perlunya memberi hukuman. Kami hanya mau menginap di rumah ini barang semalam," jelas Pranaraja. Perwira tinggi itu menginginkan penginapan yang layak, namun semua kamar sudah penuh h ngga wanita itu menawarkan kamar belakang. Jarawaha marah pada wanita itu dan terjadilah keributan kecil Tampaknya Jaran Bangkai, pemuda yang berperangai berangasan itu mendengar percakapan mereka hingga ia bangkit dan menghampiri. "Hahahah! Selamat malam, tuan-tuan.
Agaknya Tuan-tuan membutuhkan ruangan yang nyaman untuk istirahat malam ini?”
“Ya! Agaknya Tuan-tuan baru saja berjalan jauh!" timpal Jaran Lejong. Wajah kedua pemuda itu sangat mirip.
Mereka memang kakak-beradik. Cara bicara dan tingkah laku mereka cenderung liar dan berangasan.
Jaran Bangkai menghela napas lalu memandang Jarawaha, Ganggadara, dan Pranaraja berganti-ganti.
Kepalanya mengangguk-angguk dibuat-buat sambil mendenguskan napas "Baiklah! Kami tahu bahwa tuan-tuan adalah prajurit Singasari yang sudah sepantasnya dihormati. Karena itu kami akan mengalah saja. Ambillah ruang tidur kami yang di depan itu untuk istirahat!”
“Terima kasih, Tuan Jaran Bangkai'" tukas Pranaraja tegas.
"Ayo, Adi Jaran Lejong! Kita pindahkan barang-barang kita ke ruangan belakang!" ajak Jaran Bangkai membalikkan tubuh setelah mengangguk kepada Pranaraja, Ganggadara, dan Jarawaha yang menjawab dengan anggukan kepala juga.
Pelayan itu membantu menambatkan kuda di ? bawah pohon sawo lalu memberi rumput pada binatang-binatang itu. Sementara ketiga tamu terhormatnya dibiarkan langsung masuk ke ruang istirahat.
Tengah malam, ketika baru saja mereka akan merebahkan diri di balai-balai, terdengar langkah seseorang.
Mereka bersiaga. Ganggadara setengah berjingkat mendekati pintu utama dan mengintip ke luar. Setelah tahu siapa yang datang ia pun segera membuka pintu hingga terdengar derit panjang. Pranaraja langsung mendekati pelayan yang serius membungkuk pada mereka. ?Ada apa, pelayan?? ?Gusti. Harap Gusti berhati-hati. Dua orang itu agaknya punya nada tahun Caka 1206 (1284 Masehi) kekuasaan Raja Kertanegara mencapai puncaknya di Singasari. Pulau Bali berhasil ditundukkannya. Demikian pula Kerajaan Gurun, Bakulapura, Pahang, Sunda, dan Madura. Demikianlah, Singasari semakin mengembangkan sayap kekuasaannya di luar Pulau Jawa.
Walaupun demikian Kertanegara belum merasa puas.
Dia mulai melihat kemungkinan untuk menundukkan Swarnabhumi. Pada bulan Agustus 1286 pasukan Singasari berangkat ke negeri seberang mengadakan ekspansi ke Swarnabhumi yang sekarang kita kenal bernama Sumatra.
Raja Swarnabhumi yang bernama Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa akhirnya dapat dikalahkannya Gegap-gempita, sorak-sorai prajurit Singasari membahana. Mereka mengacung-acungkan senjata yang masih berlumuran darah. Lautan manusia memenuhi alunalun tempat para ksatria menunjukkan olah keprajuritan.
Mereka mengelu-elukan kebesaran Raja Kertanegara.
Kemenangan demi kemenangan diraihnya, bahkan enam tahun kemudian Kertanegara menaklukkan negeri Melayu pada tanggal 17 April 1292. Dengan kemenangan itu karena sangat gembiranya Raja Kertanegara mengeluarkan prasasti Camunda sebagai tanda terima kasih atas kemenangankemenangan yang diperolehnya Di pertemuan agung Raja Kertanegara mengenakan busana kebesaran. Mahkota yang dikenakannya bertatahkan permata manik manikam tampak berkilau-kilau menyilaukan mata. Bajunya bersulam emas Raja Kertanegara duduk di atas singgasananya dengan penuh wibawa, bibirnya tersungging senyum. Kumisnya yang tebal tercukur rapi. Hidungnya mancung serasi dengan alisnya yang tebal, melindungi manik mata beliau yang tajam menatap bagai mata elang. DaSanya mengembang hingga terlihat semakin gagah ketika menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.
Jakunnya bergerak-gerak tampak jelas di lehernya yang bersih berwarna sawo matang.
Raja Kertanegara bangkit dari singgasananya dan memberikan salam pada yang hadir dengan anggukan kepala penuh kewibawaan. Segenap yang hadir serempak menyambut salam sangRaja, "Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahai Sang Ciwa Rahaja!" Sambutan itu berakhir bagai dengung berjuta lebah yang terbang dari sarangnya. Para ksatria dan tamtama serta segenap hadirin yang diundang di Pendapa Agung itu menghaturkan sembah sampai ke tanah.
Raja Kertanegara tersenyum, bibirnya bergetar ketika bersabda, "Terima kasih. Salam kalian kuterima dengan senang hati. Mudah-mudahan berkenan pula bagi para dewa yang bersemayam di atas langit.
Kembali Raja Kertanegara menghela napas, tampak butir-butir keringat mengembun menghiasi dahi dan pelipisnya, juga ujung hidungnya yang bangir. Kemudian ia melanjutkan sabdanya, "Kalian semua kuundang untuk berkumpul di Pendapa Agung ini agar menjadi saksi hidup dengan adanya prasasti yang baru saja diselesaikan oleh Sudharmopapatti.
Pandangan Raja Kertanegara menghunjam ke arah Sudharmopapatti yang duduk bersila dan menghaturkan sembah. Para hadirin pun memberikan penghormatan dengan sinar mata iri bercampur haru atas penghormatan baginda raja pada seorang yang berhasil merampungkan prasasti Camunda. Semua berbisik-bisik lalu kembali pada posisi seperti semula "Kita semua mengerti, banyak yang bisa kita capai dengan gemilang tahun-tahun terakhir ini.
Singasari bukan lagi sebuah tempurung di Muara Sugalu yang mengapung-apung, melainkan telah berubah, telah berganti menjadi sebuah armada kapal perang yang ditakuti negeri-negeri lain yang jauh. Arca Amoghapasa yang kutanam di permukaan Swarnabhumi adalah bukti yang tak bisa disangkal, sekalipun oleh orang yang kurang berpengetahuan.
Raja Kertanegara diam sejenak. Guratan-guratan usia yang menghiasi wajahnya tak mampu menyembunyikan ketampanannya, bahkan menambah kewibawaan orang utama di Singasari itu. Matanya melirik pada Lembusora yang menggeser posisi duduknya. Lembusora menghaturkan sembah Lelaki setengah tua yang perkasa itu dengan tegas memotong menimpali sabda Raja, "Memang benar, Gusti. Apa yang telah diraih Singasari merupakan kebanggaan yang tak bisa dipungkiri.
Lembusora kembali menghaturkan sembah dan duduk seperti semula.
"Nah, itu semua berkat jerih payahmu juga, Paman Lembusora. Juga jerih payah kalian, Ranggalawe, Nambi, Kebo Anabrang, menantuku Dyah Wijaya dan Ardaraja!" Semua yang disebut namanya menghaturkan sembah sambil menyunggingkan senyum penuh rasa bangga.
"Kau pun ikut berjasa, Paman Banyak Kapuk, Gajah Pagon, dan kau, Ra Podang. Semua ini adalah pekerjaan kita semua Bukankah demikian?”
“Benar, Sang Prabu!" sambut hadirin bergema memenuhi ruangan Pendapa Agung.
Raja Kertanegara lalu duduk kembali di singgasananya seraya mengelus janggutnya, tanpa melepaskan pandangan pada semua yang hadir. Seolah ia berpikir keras. Ia menghela nafas dalam-dalam setelah merasa enak dalamduduknya.
"Nah, sekarang dengar. Pekerjaan yang baik sudah sepantasnya mendapat hadiah atau penghargaan.
Sebaliknya, pekerjaan yang buruk, yang sering dilakukan oleh para pemalas dan sok pintar, sudah seharusnya diberi hukuman untuk peringatan bagi yang lain. Banyak Wide contohnya Dia kuturunkan kedudukannya dari Rakyan Demung menjadi Adipati di Sumenep, karena menentang kebijaksanaanku. Juga Ramapati kupecat, sebab tidak setuju ketika aku merencanakan menundukkan Swarnabhumi. Itulah hukuman yang setimpal bagi para penentang, pembangkang, dan pengkhianat negeri Singasari.
Raja Kertanegara menegakkan posisi duduknya lalu memandang Dyah Wijaya. Merasa dirinya diperhatikan ksatria muda itu segera menghaturkan sembah dengan menundukkan kepalanya penuh hormat.
"Menantuku DyahWijaya!”
“Daulat, Ayahanda Prabu.
"Dan kau juga, Ardaraja!”
“Daulat, Ayahanda Prabu!”
“Dalam prasasti Camunda yang baru saja dirampungkan, tercantum keputusan Kertanegara sebagai raja yang sah di Singasari Pada lempengan batu ini aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa mereka yang telah membantu seluruh usahaku.
Kepada mereka aku akan memberikan penghargaan yang layak. Baik jasa yang besar maupun yang kecil, semua akan mendapat imbalan dari pemerintah Singasari. Dan kalian berdua, kutugas-kan untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan pemberian ini. Ingat, jangan sampai ada yang tercecer. Semua yang telah berjasa harus menikmati hasilnya!”
“Daulat, Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakan perintah sebaik-baiknya," sahut Dyah Wijaya menghaturkan sembah.
"Demikian pula Ananda akan menjunjung tinggi perintah Ayahanda Prabu," Ardaraja menimpali.
"Nah, kalau begitu pertemuan di Pendapa Agung ini aku tutup sampai di sini. Tak lupa kita panjatkan puji syukur pada para dewa, yang memberikan rahmat-Nya pada kita semua.
"Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahai Sang Rahaja!" Selesai menerima hatur sembah dari para ksatria dan orang-orang terdepan Singasari, Raja Kertanegara meninggalkan Pendapa Agung. Langkahnya yang gagah diiringi para dayang yang cantik jelita dengan tak hentihenti mengayun-ayunkan kipas. Para hadirin pun undur dari pase-ban Pendapa Agung dengan hati berbunga-bunga atas anugerah dan penghargaan sang Raja. Lebihlebih nama mereka dicantumkan pada lempengan batu prasasti Camunda.
Sementara itu, di barak prajurit sedang bercakap-cakap dua orang yang merasa bahagia atas kebesaran rajanya.
Yang satu Ganggadara, seorang prajurit muda. Otot-otot tangannya menonjol karena terlatih dalam olah keprajuritan. Kumisnya tebal dengan rambut disanggul menambah kegagahannya. Sedangkan yang seorang lagi bernama Jarawaha. Ia juga tak kalah gagah dengan Ganggadara.
"Kakang Jarawaha! Kupikir kita ini akan semakin mulia.
Raja kita sekarang semakin hebat dan namanya terdengar di mana-mana," Ganggadara membuka percakapan "Di mana letak kehebatannya menurut pendapatmu, Adi Ganggadara?" Dia tegas dan tergolong seorang raja yang berani.
Bayangkan, Swarnabhumi yang megah dapat ditundukkan tanpa kesukaran. Aku bangga bisa mengabdi pada raja seperti Prabu Kertanegara. Ganggadara bicara dengan lantang penuh rasa bangga atas junjungannya, hingga bibirnya ikut meliuk-liuk penuh irama seiring nada bicaranya.
"Ya, aku pun merasa bangga mempunyai raja seperti beliau. Tapi aku mempunyai alasan yang berbeda. Dengan dibuatnya prasasti Camunda, semakin tampak arif dan bijaksanalah beliau. Seorang raja besar bersedia menekuk leher menundukkan-wajah untuk mengucapkan rasa terima kasih pada rakyat dan bawahannya, itulah yang luar biasa Kukira belum pernah terjadi sebelum Prabu Kertanegara.
"Benar, Kakang. Jasa orang, baik yang kecil maupun yang besar, baik dari kalangan bawah, menengah ataupun golongan atas, semua diperhatikan dan diberi penghargaan.
Rasanya pekerjaan kita tidaklah sia-sia!" Selesai bicara dengan gagahnya Ganggadara mencabut pedang dari wrangka-nya, lalu menimangnya dan mengelus dengan telapak tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman penuh rasa bangga "Dua kali aku terlibat peperangan bersama pedang kebanggaanku ini. Pertama ketika menyerang Pulau Bali, dan kedua ketika merebut ibukota Swarnabhumi.
"Dan sekarang pangkatmu naik menjadi perwira muda!" tukas Jarawaha.
"Dan Kakang Jarawaha menjadi perwira tinggi!”
“Dan atasan kita, Tuan Pranaraja, naik pangkat menjadi....
Belum selesai melanjutkan kata-katanya terdengarlah suara derap kaki kuda. Jarawaha setengah menganga memperhatikan siapa yang datang. Ganggadara membisikkan sesuatu pada telinga Jarawaha.
"Sssstth, Kakang Jarawaha, bukankah itu Tuan Pranaraja?”
“Hmh, ya. Pasti ada sesuatu yang penting. Tidak biasanya sepagi ini Tuan Pranaraja datang ke barak prajurit.
Kuda semakin dekat dengan mereka lalu Pranaraja menghentikannya tak jauh dari mereka bercakap. Pranaraja melompat turun dari punggung kuda dan binatang kesayangan itu meringkik mengerti. Keduanya menyambut kehadiran atasannya penuh hormat.
"Selamat pagi, Tuan!" salam mereka berbarengan.
"Sarungkan pedangmu Ganggadara. Negara Singasari aman dan kita belum merencanakan perang lagi dengan negara lain!" tegur Pranaraja sambil memandang tajam ke arah Ganggadara yang memegang pedang. Ganggadara merah padam wajahnya lalu tersenyum malu pada Pranaraja dan tergesa-gesa menyarungkan pedangnya.
"Emh, ehh, maaf, Tuan!" ucapnya lirih dengan suara agak parau menyadari keteledorannya.
"Aku ada perlu dengan kalian berdua.Mari kujelaskan di dalam!" kata Pranaraja-penuh wibawa. Lelaki agak tua itu masih tampak gagah. Tubuhnya kekar. Otot-ototnya menonjol dan tangannya amat kukuh. Telapak tangannya tebal agak kasar karena sering berolah kanuragan.
Ketiganya pun berjalan menuju barak prajurit. Pranaraja memberi tahu bahwa ia mendapat tugas dari Sang Prabu untuk menemuiMpu Hanggareksa di desa Kurawan. Letak desa itu dekat dengan desa Jasun Wungkal. Dapat ditempuh dengan berkuda menuju arah tenggara dari Kotaraja Singasari.
Ketiga orang itu segera berkemas-kemas untuk mengadakan perjalanan menuju desa Kurawan tempat Mpu Hanggareksa tinggal.
Matahari telah tinggi. Panasnya menyengat membuat musim kemarau tampak gersang. Seluruh kota Singasari bermandikan keringat.
Mendadak debu-debu jalan beterbangan, bercampur baur dengan daun-daun kering yang gugur ke bumi ketika tiga ekor kuda berlari bagaikan terbang. Tiga binatang perkasa itu terus berlari menuju perbatasan kota untuk kemudian meninggalkan Singasari.
Tiada terasa seharian penuh mereka telah mengadakan perjalanan. Telah lama sinar matahari meredup bersembunyi di peraduannya. Keadaan semakin gelapgulita.
Ringkik kjida dan derapnya yang melemah menunjukkan binatang-binatang itu telah lelah seperti para penunggangnya. Mereka memasuki sebuah desa dan memperlambat lari kuda sambil mencari-cari rumah penduduk untuk menginap semalam. Mereka menginap di desa Jasun Wungkal di sebuah penginapan yang tak begitu besar. Suasana desa di malam itu cukup tenteram Kerlip lampu-lampu yang berasal dari pintu rumah penduduk yang masih terbuka menunjukkan suasana desa itu cukup aman.
Ada seorang wanita berdiri di depan rumah, tersenyum ramah memperhatikan tiga penumpang kuda yang mendekatinya. Melihat ketiga prajurit Singasari yang turun dari kuda, maka wanita itu menghampiri. "Ehh, maaf, sepertinya Tuan bertiga ini datang dari jauh? Apa yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu sopan.
Pranaraja setengah melotot memandang rendah pada orang yang menyapanya. "Hemh, apa kau sama sekali tidak mengenal lencana keprajuritan?”
“Kami adalah prajurit-prajurit Singasari. Yang sedang kauajak bicara ini adalah Panglima Muda Tuanku Pranaraja!" sangat tegas dan bernada tinggi Ganggadara menjelaskan.
"Kami mengemban tugas dari Sang Prabu Kertanegara!" sambung Jarawaha, dalam dan wibawa.Mengetahui hal itu orang tersebut langsung memberikan sembah penuh hormat. Tubuhnya menggigil karena merasa bersalah.
Dengan wajah menunduk ia merasa menyesal karena berlaku lancang pada perwira Singasari. "Ohh, ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak tahu. Hamba memang orang bodoh dan pantas dihukum!”
“Sudahlah. Tak ada perlunya memberi hukuman. Kami hanya mau menginap di rumah ini barang semalam," jelas Pranaraja. Perwira tinggi itu menginginkan penginapan yang layak, namun semua kamar sudah penuh h ngga wanita itu menawarkan kamar belakang. Jarawaha marah pada wanita itu dan terjadilah keributan kecil Tampaknya Jaran Bangkai, pemuda yang berperangai berangasan itu mendengar percakapan mereka hingga ia bangkit dan menghampiri. "Hahahah! Selamat malam, tuan-tuan.
Agaknya Tuan-tuan membutuhkan ruangan yang nyaman untuk istirahat malam ini?”
“Ya! Agaknya Tuan-tuan baru saja berjalan jauh!" timpal Jaran Lejong. Wajah kedua pemuda itu sangat mirip.
Mereka memang kakak-beradik. Cara bicara dan tingkah laku mereka cenderung liar dan berangasan.
Jaran Bangkai menghela napas lalu memandang Jarawaha, Ganggadara, dan Pranaraja berganti-ganti.
Kepalanya mengangguk-angguk dibuat-buat sambil mendenguskan napas "Baiklah! Kami tahu bahwa tuan-tuan adalah prajurit Singasari yang sudah sepantasnya dihormati. Karena itu kami akan mengalah saja. Ambillah ruang tidur kami yang di depan itu untuk istirahat!”
“Terima kasih, Tuan Jaran Bangkai'" tukas Pranaraja tegas.
"Ayo, Adi Jaran Lejong! Kita pindahkan barang-barang kita ke ruangan belakang!" ajak Jaran Bangkai membalikkan tubuh setelah mengangguk kepada Pranaraja, Ganggadara, dan Jarawaha yang menjawab dengan anggukan kepala juga.
Pelayan itu membantu menambatkan kuda di ? bawah pohon sawo lalu memberi rumput pada binatang-binatang itu. Sementara ketiga tamu terhormatnya dibiarkan langsung masuk ke ruang istirahat.
Tengah malam, ketika baru saja mereka akan merebahkan diri di balai-balai, terdengar langkah seseorang.
Mereka bersiaga. Ganggadara setengah berjingkat mendekati pintu utama dan mengintip ke luar. Setelah tahu siapa yang datang ia pun segera membuka pintu hingga terdengar derit panjang. Pranaraja langsung mendekati pelayan yang serius membungkuk pada mereka. ?Ada apa, pelayan?? ?Gusti. Harap Gusti berhati-hati. Dua orang itu agaknya punya niat yang kurang baik!? bisik pelayan ke telinga Pranaraja.
Pranaraja dan kedua bawahannya mengerutkan dahi.
Bibir Pranaraja bergetar sebelum balik bertanya lirih pada pelayan.
?Kau tahu banyak tentang mereka?? ?Mereka orang-orang jahat, Gusti. Mereka suka merampok orang-orang yang kemalaman di jalan,? jelas pelayan. Pelayan itu juga memberi keterangan tentang jalan yang harus dilalui Pranaraja.
Setelah basa-basi pelayan itu segera mundur pergi karena melihat para tamunya beberapa kali menguap di depannya.
Pranaraja ngantuk sekali setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pelayan itu.
BERSAMBUNG
iat yang kurang baik!? bisik pelayan ke telinga Pranaraja.
Pranaraja dan kedua bawahannya mengerutkan dahi.
Bibir Pranaraja bergetar sebelum balik bertanya lirih pada pelayan.
?Kau tahu banyak tentang mereka?? ?Mereka orang-orang jahat, Gusti. Mereka suka merampok orang-orang yang kemalaman di jalan,? jelas pelayan. Pelayan itu juga memberi keterangan tentang jalan yang harus dilalui Pranaraja.
Setelah basa-basi pelayan itu segera mundur pergi karena melihat para tamunya beberapa kali menguap di depannya.
Pranaraja ngantuk sekali setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pelayan itu.

BERSAMBUNG
Tutur Tinular - Pelangi di Atas Kurawan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 TAMAT

1 Response to "Novel Tutur Tinular - Pelangi di Atas Kurawan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel